
IslamicWritings.org – Kepada saudara-saudara kami di Tepi Barat, di Al-Quds yang diberkahi, di tanah Palestina yang dijajah sejak 1948, kepada seluruh putra-putri Palestina di pengasingan dan diaspora, serta kepada umat Islam dan Arab di seluruh dunia:
Ketahuilah—kami, rakyat Gaza, bukan pengemis, bukan peminta belas kasih. Jangan pernah kalian mengira bahwa kami menanti-nanti uluran tangan untuk mengisi perut kosong kami. Kami adalah kaum yang telah Allah anugerahi dengan kehormatan yang luar biasa. Bahkan, andai kehormatan ini bisa dibagi ke seluruh dunia, niscaya dunia takkan kekurangan darinya.
Apa yang menimpa kami hari ini bukanlah simbol kelemahan, bukan pula lambang kehinaan. Ini adalah bagian dari ketetapan-Nya. Ini adalah jalan panjang yang telah kami tempuh dengan penuh sabar dan keyakinan. Mungkin ada di antara kami yang berbicara dengan suara lirih, lemah, atau tampak hancur—tetapi itu bukan karena kami telah menyerah. Itu karena kami memikul beban besar yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang pernah berjalan dalam kobaran api dan reruntuhan harapan.
Demi Allah, Tuhan yang meninggikan langit tanpa tiang penyangga—jika seluruh harta dunia dikumpulkan untuk menyentuh luka kami, itu takkan mampu menghapuskan rasa dikhianati. Tidak satu pun kekayaan dunia mampu mengembalikan tawa anak-anak kami yang terkubur bersama puing-puing rumah yang dibom. Tawa mereka telah direbut dari kami oleh kebengisan dan kemunafikan dunia, dan dikuburkan dalam diam oleh keheningan yang membunuh.
Gaza: Tanah Kehidupan, Bukan Beban
Kami adalah putra-putra Gaza—dan kami bangga mengatakannya. Sejak dulu kami tidak pernah menjadi beban bagi siapa pun. Kami hidup seperti kalian hidup, bahkan mungkin lebih keras. Kami membangun rumah, membangun masa depan, menata kehidupan dengan kerja keras dan semangat. Kami punya mimpi. Kami punya cita-cita. Kami punya rumah yang penuh cinta, jalan-jalan yang dahulu ramai oleh anak-anak yang tertawa, toko-toko yang menyala di malam hari, dan kehidupan yang sederhana namun penuh arti.
Kami punya mobil, bangunan megah, dan meja makan yang di sekelilingnya ada keluarga yang saling mencintai. Kami tidak pernah hidup dengan tangan terulur. Kami punya kehormatan yang membuat kami berbagi, bukan meminta.
Namun hari ini, kehancuran itu menghampiri kami. Bukan karena kami lemah. Tapi karena kami menjadi tembok terakhir yang berdiri antara kehormatan umat ini dan rencana para penjajah. Kami bukan hanya berjuang untuk tanah kami—kami sedang menjaga kehormatan kalian semua. Kami berdiri di garis depan sebuah perlawanan yang telah ditinggalkan oleh sebagian, dan didiamkan oleh banyak lainnya. Kami menjaga sisa-sisa marwah umat ini yang telah dinodai oleh pengkhianatan dan dibungkam oleh kekuasaan yang takut pada suara kebenaran.
Kami Bertahan untuk Semua yang Masih Memiliki Hati
Kami berdiri sendiri di garis api—tanpa jaminan, tanpa dukungan nyata, namun tidak pernah kehilangan harga diri. Kami berdiri menggantikan sebuah umat yang dipaksa untuk tunduk, namun kami tetap memilih untuk tegak, walau luka mengoyak, walau dunia membisu.
Dan dalam diam kami, dalam duka kami, kami tetap berkata: Kami masih memiliki kehormatan. Dan itu cukup untuk mengangkat panji kebebasan bagi semua yang masih punya hati, bagi semua yang percaya pada kebenaran, bagi semua yang tidak menutup mata pada penderitaan.
Jangan tangisi kami seolah kami telah kalah. Jangan ratapi kami seolah kami lemah. Yang kami butuhkan bukan belas kasihan, tetapi keberanian untuk bersama kami, dalam bentuk apa pun. Yang kami harapkan adalah suara yang menolak untuk dibungkam, aksi yang menolak untuk dilumpuhkan, dan hati yang menolak untuk dibekukan oleh ketakutan.
Cukuplah Allah bagi kami. Dia adalah sebaik-baik Pelindung.
Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan izin Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Mulia.