
Dalam ajaran Islam, pernikahan bukan hanya sekadar hubungan antara dua individu, tetapi juga bagian dari ibadah dan jalan menjaga akidah. Karena itu, syariat Islam memberikan aturan tegas mengenai siapa yang boleh dinikahi, termasuk larangan menikah dengan pasangan beda agama—terutama jika perempuan Muslim menikah dengan laki-laki non-Muslim.
Dasar Hukum dalam Islam
Larangan ini ditegaskan dalam berbagai sumber, baik dari Al-Qur’an, hadis Nabi, maupun ijma’ (konsensus) ulama. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menjadi pedoman hukum pernikahan umat Islam di Indonesia, disebutkan secara eksplisit:
Pasal 44: “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.”
Larangan ini bersifat mutlak dan telah menjadi kesepakatan para ulama (ijma’). Dalam konteks ini, jika laki-lakinya non-Muslim, maka pernikahan tersebut dihukumi haram secara syar’i.
Dalil Al-Qur’an
Salah satu ayat yang menjadi dasar pelarangan ini adalah firman Allah dalam QS Al-Mumtahanah ayat 10:
“…Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (perempuan-perempuan hijrah itu) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang kafir itu dan orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka…”
Ayat ini menunjukkan bahwa hubungan pernikahan antara wanita Muslimah dan pria non-Muslim tidak sah dalam pandangan syariat. Allah menyatakan bahwa keduanya tidak halal satu sama lain.
Penafsiran Para Ulama
Ulama tafsir klasik seperti Imam Al-Qurthubi menegaskan bahwa ayat ini menunjukkan keharaman total wanita Muslim dinikahkan kepada laki-laki non-Muslim. Demikian pula sebaliknya, laki-laki Muslim juga dilarang menikahi wanita musyrik.
Contoh nyata dari sejarah Islam juga memperkuat larangan ini. Sayyidah Zainab, putri Rasulullah SAW, pernah menikah dengan Abu Al-Ash, yang saat itu masih kafir. Namun setelah turunnya ayat larangan pernikahan beda agama, Rasulullah memisahkan mereka. Mereka baru menikah kembali setelah Abu Al-Ash memeluk Islam, dan dilakukan akad ulang.
Hadis yang mengisahkan hal ini di antaranya diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Abu Daud, yang menunjukkan bahwa status pernikahan sebelumnya batal setelah perbedaan keyakinan.
Konsensus Ulama
Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni menyebutkan bahwa keharaman ini merupakan ijma’ ulama. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ahli fikih bahwa wanita Muslimah haram menikah dengan pria non-Muslim, apapun agamanya.
Bahkan dalam Tafsir Kementerian Agama RI, dijelaskan bahwa jika seorang istri masuk Islam, maka secara otomatis pernikahannya dengan suami yang masih kafir dianggap telah batal secara hukum agama. Ia pun haram kembali padanya selama si suami belum memeluk Islam.
Kesimpulan
Islam melarang pernikahan beda agama sebagai bentuk perlindungan terhadap akidah dan harmoni rumah tangga dalam bingkai keimanan yang sama. Larangan ini bukan hanya norma sosial atau budaya, tapi merupakan hukum syariat yang memiliki dasar kuat dari Al-Qur’an, hadis, serta ijma’ para ulama.
Jika ada yang ingin melangsungkan pernikahan, Islam sangat menganjurkan agar pasangan memiliki satu keimanan, agar pernikahan tidak hanya sah secara legal, tetapi juga bernilai ibadah dan membawa keberkahan.