
Arisan telah menjadi tradisi sosial yang kuat di tengah masyarakat Indonesia. Selain menjadi sarana mempererat hubungan sosial, arisan juga digunakan sebagai bentuk tolong-menolong dan alternatif menabung. Seiring berkembangnya teknologi, arisan kini banyak dilakukan secara online, baik melalui media sosial maupun aplikasi digital. Namun, muncul pertanyaan baru mengenai hukum arisan online dalam Islam, terutama terkait pemberian denda bagi peserta yang telat membayar.
Arisan Online dalam Perspektif Syariah
Mengutip dari situs resmi Kementerian Agama (Kemenag), arisan yang dilakukan berdasarkan sistem giliran atau undian dianggap boleh menurut Islam. Hal ini merujuk pada pendapat Imam Al-Iraqi dalam kitab Hasyiah Al-Qalyubi wa Umairah, yang menyatakan bahwa arisan tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Secara prinsip, arisan — termasuk arisan online — diperbolehkan selama dilakukan dengan penuh kesepakatan, keikhlasan, dan keadilan antar pesertanya. Dalam banyak hal, arisan bahkan dianggap mirip dengan aktivitas menabung secara bergiliran.
Menurut penelitian Alfi Atuz dari UIN Malang, arisan online bisa dikaitkan dengan konsep qardh atau utang piutang dalam Islam. Qardh merupakan akad sosial yang bertujuan membantu sesama, bukan untuk mencari keuntungan. Dalam arisan, peserta yang belum mendapatkan giliran sejatinya sedang meminjamkan uang kepada peserta yang sudah menerima giliran, dan itu memenuhi rukun akad qardh, yakni:
-
Sighat: kesepakatan antar pihak.
-
Pihak yang berakad: pemberi dan penerima pinjaman.
-
Ma’qud ‘alaih: harta atau uang yang dipinjamkan.
Pemberlakuan Denda: Perspektif Fikih Muamalah
Masalah muncul ketika dalam praktik arisan online diberlakukan denda bagi peserta yang telat membayar iuran. Meski denda ini kadang dibagikan kembali ke seluruh anggota, dalam pandangan fikih muamalah, praktik tersebut dinilai mengandung unsur riba, khususnya riba jahiliyyah dan riba qardh.
Hal ini disebabkan karena tambahan pembayaran (denda) dikenakan kepada anggota yang telat, padahal akad qardh dalam Islam tidak boleh disertai keuntungan atau manfaat tambahan bagi pemberi pinjaman. Apalagi jika denda tersebut bersifat harian, maka itu mencerminkan praktik utang yang terus berbunga, seperti riba yang terjadi di masa jahiliah.
Penerapan denda semacam itu dianggap dapat menimbulkan ketidakadilan, terutama bagi peserta yang mengalami keterlambatan karena alasan yang sah, seperti kesulitan ekonomi atau kelupaan. Dengan begitu, pemberlakuan denda bertentangan dengan nilai-nilai syariah yang menekankan keadilan dan tolong-menolong, bukan tekanan atau pemaksaan.
Wallahu a’lam.