Dalam ajaran Islam, segala sesuatu yang terjadi di alam semesta adalah bagian dari takdir Allah SWT. Termasuk dalam hal ini adalah penyakit dan proses penyembuhannya. Keyakinan bahwa setiap penyakit memiliki obat adalah salah satu bentuk keimanan terhadap kasih sayang dan keadilan Allah. Namun menariknya, Rasulullah SAW juga menjelaskan bahwa tidak semua penyakit memiliki obat. Ada dua kondisi yang disebut sebagai pengecualian dalam sabda beliau.

Setiap Penyakit Ada Obatnya, dengan Izin Allah

Keyakinan bahwa setiap penyakit dapat disembuhkan bersandar pada sabda Rasulullah SAW dalam hadits riwayat Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah. Beliau bersabda:

“Setiap penyakit ada obatnya. Apabila obat tersebut tepat dan sesuai dengan penyakitnya, maka ia akan sembuh dengan izin Allah.”
(HR Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa kesembuhan bukan semata hasil dari pengobatan medis, tetapi merupakan ketetapan dan izin dari Allah SWT. Ulama seperti Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam karyanya Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ bahkan memperluas makna penyakit dalam hadits ini — tidak hanya yang bersifat fisik, tetapi juga mencakup penyakit jiwa, hati, hingga kebodohan. Misalnya, kebodohan dapat diobati dengan ilmu dan bertanya kepada ulama.

Namun dalam hadits lain, Rasulullah SAW menyebut adanya satu penyakit yang tidak memiliki obat. Bahkan dalam riwayat lain disebutkan dua.

Penyakit yang Tak Bisa Disembuhkan: Ketuaan dan Kematian

Dalam Musnad Ahmad, Rasulullah SAW menyampaikan:

“Sesungguhnya Allah tidak menurunkan suatu penyakit, kecuali Dia juga menurunkan obatnya. Diketahui oleh sebagian orang dan tidak diketahui oleh yang lainnya.”

Namun beliau kemudian menambahkan dalam redaksi lain:

“Sesungguhnya Allah tidak menurunkan suatu penyakit, kecuali Dia juga menurunkan obatnya, kecuali satu penyakit.”
Para sahabat bertanya, “Penyakit apakah itu, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Al-Haram (ketuaan).”
(HR At-Tirmidzi – Shahih)

Ketuaan atau proses penuaan adalah keniscayaan dalam hidup. Ia tidak bisa dicegah, apalagi diobati. Ini adalah bagian dari siklus manusia yang menjadi ketetapan Allah.

Selain itu, dalam riwayat lain disebut pula bahwa kematian adalah satu kondisi lain yang tidak memiliki obat:

“Tidaklah Allah menciptakan suatu penyakit, kecuali Dia juga menciptakan obatnya — yang akan diketahui oleh yang mengetahuinya dan tidak akan diketahui oleh orang bodoh — kecuali kematian.”
(HR Ahmad dan At-Thabrani)

Dengan demikian, baik ketuaan maupun kematian bukanlah penyakit dalam makna medis biasa, tetapi kondisi yang ditetapkan Allah dan tak dapat dielakkan oleh siapa pun.

Doa: Penawar Paling Kuat dalam Islam

Meski demikian, Islam tidak pernah menutup pintu harapan. Salah satu bentuk upaya yang paling dianjurkan dalam menghadapi penyakit — baik fisik maupun batin — adalah doa.

Rasulullah SAW bersabda:

“Berdoalah kepada Allah dengan keyakinan bahwa doa kalian akan dikabulkan. Ketahuilah, Allah tidak akan mengabulkan doa yang keluar dari hati yang lalai dan tidak bersungguh-sungguh.”
(HR Hakim dari Abu Hurairah RA)

Hadits ini menekankan pentingnya keikhlasan dan keseriusan dalam berdoa. Namun, doa tidak berdiri sendiri. Ia harus disertai dengan keimanan, amal yang baik, dan menjaga kehalalan dalam konsumsi serta perbuatan.

Sebagaimana dijelaskan dalam Shahih Muslim, Nabi SAW menceritakan tentang seseorang yang berdoa namun hidupnya dipenuhi dengan hal-hal yang haram — dari makanan, minuman, hingga pakaiannya. Maka Nabi SAW bertanya: “Bagaimana mungkin doanya dikabulkan?”

Penutup

Islam memberikan panduan yang sangat lengkap mengenai penyakit, pengobatan, dan peran takdir. Setiap penyakit adalah ujian, dan setiap pengobatan adalah bentuk ikhtiar. Namun, umat Islam juga diajarkan untuk menerima bahwa ada kondisi yang memang ditakdirkan Allah sebagai bagian dari perjalanan hidup: ketuaan dan kematian. Tidak ada obat untuk keduanya — hanya persiapan, penerimaan, dan keteguhan iman yang menjadi jalan terbaik.