Jakarta – Pajak merupakan bagian penting dalam pengelolaan keuangan negara modern. Namun, dalam sejarah Islam, sistem serupa sebenarnya telah diterapkan sejak zaman Rasulullah SAW, meski dengan istilah dan konsep yang berbeda.

Pada masa Rasulullah SAW, sumber keuangan negara tidak disebut sebagai “pajak” seperti saat ini. Pengelolaan keuangan lebih berpusat pada baitul mal—lembaga keuangan negara—dengan sumber pendapatan yang bersumber dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah.

Sumber Pemasukan Negara di Masa Rasulullah SAW

Menurut para ulama seperti Abu Ubaid, Abu Yusuf, Ibnu Taimiyah, dan Al-Mawardi, sumber pendapatan negara (mawarid ad-daulah) di masa Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin dibagi ke dalam tiga kategori besar:

1. Ghanimah

Yaitu harta rampasan perang dari musuh yang dibagikan kepada pasukan (4/5) dan sisanya (1/5) untuk negara, termasuk untuk Rasulullah SAW, kerabatnya, anak yatim, fakir miskin, dan musafir. (QS. Al-Anfal: 41)

2. Fa’i

Harta yang diperoleh tanpa peperangan, misalnya dari penyerahan sukarela atau pelanggaran perjanjian. Tidak dibagikan kepada tentara, tapi langsung masuk ke baitul mal. (QS. Al-Hasyr: 6)

3. Zakat dan Shadaqah

Kewajiban atas harta kaum muslimin yang mencapai nisab, diambil dan dikelola oleh negara untuk distribusi kepada delapan asnaf (QS. At-Taubah: 103).

Sumber Lain: Kharaj, Jizyah, dan ‘Usyr

Selain tiga sumber utama, terdapat juga sumber-sumber lain:

  • Kharaj: Sewa tanah dari non-muslim atas tanah taklukan.

  • Jizyah: Pajak kepala yang dibayar non-muslim sebagai imbalan atas perlindungan negara.

  • ‘Usyr: Semacam bea ekspor-impor atas barang dagangan lintas wilayah.

Untuk kaum muslimin, ‘usyr dihitung sebagai zakat; untuk non-muslim tarifnya lebih tinggi.

Pendapatan Sekunder

Negara juga menerima pemasukan tambahan seperti:

  • Harta karun (rikaz)

  • Harta hasil korupsi yang dikembalikan (ghulul)

  • Denda (kaffarat)

  • Barang temuan (luqathah)

  • Wakaf, tebusan tawanan, hadiah, dan pinjaman

Pengelolaan yang efisien membuat negara Islam di masa Rasulullah dan para khalifah seperti Umar bin Khattab hingga Harun Al-Rasyid mencapai kemakmuran dan stabilitas ekonomi.

Perkembangan Konsep Pajak di Era Islam Klasik

Dengan semakin banyaknya non-muslim yang masuk Islam, sumber pendapatan dari jizyah dan kharaj menurun. Namun kebutuhan negara tetap tinggi. Hal ini mendorong para ulama melakukan ijtihad untuk menciptakan sumber pendapatan baru — lahirlah konsep dharibah, pajak dalam pengertian modern.

Dalam buku Sistem Perpajakan dalam Perekonomian Islam karya Dr. Nasaiy Aziz dan Nurhasibah, disebutkan bahwa praktik perpajakan telah diterapkan sejak era Rasulullah, Khulafaur Rasyidin, hingga Dinasti Abbasiyah. Namun, bentuk dan tujuannya berbeda-beda sesuai kebutuhan zaman.

Pajak: Antara Syariat dan Keadilan

Pajak dalam Islam adalah bagian dari muamalah, dan karenanya tunduk pada prinsip-prinsip syariat. Para ulama menegaskan bahwa pajak hanya boleh dipungut jika kas negara kosong dan kebutuhan publik mendesak.

  • Al-Marghinani menyatakan bahwa rakyat wajib membantu negara selama dana digunakan untuk kemaslahatan umum.

  • Abdurrahman Al-Maliki memperingatkan bahwa pengambilan pajak secara sewenang-wenang tanpa dasar syariah hukumnya haram karena termasuk perampasan.

  • Gusfahmi menekankan pentingnya batasan agar pajak tidak berubah menjadi alat penindasan.

Praktik Pajak dalam Pemerintahan Islam

Pada masa Dinasti Abbasiyah, pajak dialokasikan untuk sektor publik seperti pembangunan, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Ini menunjukkan bahwa pajak dalam Islam bukan semata-mata instrumen ekonomi, tetapi juga sarana keadilan sosial dan pemerataan.

Non-muslim juga diwajibkan membayar pajak (jizyah) sebagai imbalan atas perlindungan dan pelayanan negara. Namun mereka dibebaskan dari kewajiban militer atau zakat.

Kesimpulan

Pajak dalam Islam memiliki akar yang dalam dalam sejarah syariah. Meski tidak disebut secara langsung sebagai “pajak”, sistem kontribusi keuangan dalam negara Islam sudah mapan sejak masa Rasulullah SAW. Prinsip dasarnya adalah keadilan, tanggung jawab sosial, dan pemanfaatan untuk kepentingan umum, bukan keuntungan pribadi.

Pajak bukan hanya kewajiban administratif, tapi juga bentuk partisipasi aktif umat dalam menjaga keberlangsungan negara dan kesejahteraan masyarakat.