Membeli barang secara cicilan sudah menjadi pilihan umum bagi banyak orang yang ingin memiliki sesuatu namun belum memiliki cukup dana. Tak terkecuali emas, yang dikenal sebagai instrumen investasi bernilai tinggi. Kini, pembelian emas pun bisa dilakukan secara online dan dicicil, membuatnya semakin mudah diakses oleh masyarakat.

Namun, kemudahan ini menimbulkan pertanyaan di kalangan umat Islam: bagaimana sebenarnya hukum membeli emas dengan sistem cicilan menurut ajaran syariat?

Jual Beli Taqsith dan Isu Riba

Dalam pandangan fikih, membeli barang dengan pembayaran bertahap dikenal sebagai jual beli taqsith. Ini merupakan transaksi sah selama dilakukan atas dasar kesepakatan bersama antara pembeli dan penjual.

Namun, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengingatkan bahwa praktik kredit atau cicilan kerap mengandung unsur riba—tambahan nilai karena adanya penundaan pembayaran. Berdasarkan Fatwa MUI Nomor 1 Tahun 2004, riba nasi’ah didefinisikan sebagai tambahan yang muncul akibat penundaan, yang telah disepakati sejak awal transaksi.

Praktik pembungaan seperti ini dinilai oleh MUI telah memenuhi kriteria riba yang diharamkan dalam Islam, baik dilakukan oleh individu maupun lembaga keuangan.

Emas, Uang, dan Ketentuan Tunai

Ulama kondang Buya Yahya menyoroti persoalan ini dalam salah satu ceramahnya. Menurutnya, transaksi jual beli emas berbeda dengan jual beli barang biasa. Karena emas dan uang sama-sama dianggap sebagai alat tukar dalam Islam, maka transaksi antara keduanya harus dilakukan secara tunai dan langsung, tanpa ada penundaan.

Jika emas sudah diterima namun pembayarannya belum lunas, maka itu disebut sebagai riba yad—jenis riba yang terjadi karena adanya jeda waktu dalam penyerahan barang yang dipertukarkan. Meskipun tanpa adanya tambahan biaya, penundaan saja sudah cukup membuatnya haram menurut hukum Islam.

Alternatif yang Dibenarkan Syariah

Apakah berarti umat Islam tidak boleh membeli emas jika belum memiliki dana penuh? Tidak juga. Buya Yahya memberikan solusi yang sesuai syariah: menabung terlebih dahulu pada penjual hingga dana mencukupi, baru melakukan pembelian emas.

Dalam skema ini, pembeli menyetorkan uang secara bertahap tanpa menerima emasnya terlebih dahulu. Setelah jumlah yang disepakati terkumpul, emas kemudian diserahkan oleh penjual. Karena tidak ada tambahan biaya, tidak ada penundaan dalam penyerahan barang setelah pembayaran penuh, dan tidak ada unsur bunga, transaksi ini diperbolehkan dalam Islam.

Misalnya, jika seseorang ingin membeli emas seharga Rp 10 juta namun hanya mampu membayar Rp 2 juta per bulan, ia bisa menyetor uang selama lima bulan. Setelah lunas, penjual menyerahkan emasnya. Ini bukan utang-piutang, melainkan menabung untuk kemudian membeli.

Kesimpulan: Hati-Hati dalam Transaksi Emas

Membeli emas secara cicilan yang disertai penyerahan emas di awal tidak dibenarkan dalam syariah, karena mengandung riba. Namun, menabung terlebih dahulu hingga dana terkumpul dan baru melakukan pembelian adalah solusi syariah yang aman.

Jadi, sebelum memutuskan membeli emas secara cicilan, ada baiknya memahami terlebih dahulu skema transaksinya. Dengan demikian, kita bisa terhindar dari riba dan tetap menjaga transaksi sesuai prinsip Islam.