
Pemerintah baru-baru ini mengungkap praktik curang dalam perdagangan beras di pasaran. Sebanyak 212 merek beras ditemukan melanggar aturan karena melakukan pengoplosan. Dampak dari kecurangan ini tidak main-main—kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 10 triliun dalam lima tahun terakhir.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menjelaskan bahwa beras bersubsidi yang seharusnya dijual dengan harga lebih rendah justru dinaikkan hingga Rp 2.000–3.000 per kilogram. “Negara memberikan subsidi Rp 1.500, lalu dijual kembali dengan harga lebih tinggi. Dalam satu tahun saja kerugiannya bisa Rp 2 triliun, dan kalau dihitung selama lima tahun, totalnya Rp 10 triliun,” ujarnya.
Amran menyebut bahwa pemerintah akan bertindak tegas dan siap menanggung risiko demi menjaga integritas sistem distribusi pangan.
Bagaimana Islam Memandang Praktik Seperti Ini?
Dalam Islam, menjual barang oplosan atau mencampur produk berkualitas buruk dengan yang baik tanpa transparansi tergolong sebagai perbuatan curang dan dilarang keras. Praktik semacam ini bertentangan dengan nilai-nilai kejujuran dan keadilan yang menjadi fondasi utama dalam muamalah atau transaksi ekonomi.
Sebuah kisah dari masa Rasulullah SAW menggambarkan secara jelas bagaimana Islam menanggapi kecurangan dalam berdagang. Dalam satu riwayat, Rasulullah mendapati seorang pedagang gandum yang sengaja meletakkan gandum basah dan hampir busuk di bagian bawah, sementara yang bagus ditumpuk di atas. Ketika beliau memasukkan tangannya ke dalam tumpukan itu, Rasulullah segera menegur si pedagang.
“Apa ini, wahai pemilik gandum?” tanya Rasulullah.
“Bagian ini terkena hujan, wahai Rasulullah,” jawabnya.
Rasulullah pun menegur dengan keras, “Mengapa tidak kau letakkan di atas agar bisa dilihat pembeli? Barang siapa menipu kami, maka ia bukan bagian dari golongan kami.”
Penipuan Adalah Dosa Besar dalam Islam
Islam mengajarkan bahwa kejujuran adalah prinsip utama dalam bermuamalah. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesama muslim itu saudara. Tidak halal bagi seorang muslim menjual barang kepada saudaranya yang memiliki cacat, kecuali ia menjelaskan cacat tersebut.” (HR Ahmad dan Ibnu Majah)
Lebih dari itu, dalam hadits lain disebutkan bahwa penipu termasuk golongan yang tidak akan masuk surga, sejajar dengan orang yang kikir dan orang yang menyombongkan pemberiannya.
Rasulullah juga pernah memberi nasihat kepada seorang sahabat yang sering tertipu dalam jual beli agar berkata: “Jangan menipu!” sebelum bertransaksi. Ini menunjukkan pentingnya komunikasi jujur dan keterbukaan dalam interaksi dagang.
Pesan Moral
Dari kasus beras oplosan hingga kisah Rasulullah, kita bisa melihat bahwa kecurangan dalam jual beli bukan hanya melanggar hukum negara, tapi juga bertentangan dengan ajaran agama. Dalam jangka panjang, praktik semacam ini merugikan banyak pihak: mulai dari konsumen, pemerintah, hingga pelaku usaha jujur lainnya.
Islam mendorong setiap individu untuk berdagang dengan amanah, jujur, dan transparan, demi terciptanya keadilan sosial dan keberkahan dalam rezeki.
Wallahu a’lam bishawab.