Fenomena anak yang lahir di luar pernikahan atau hasil dari perbuatan zina semakin sering menjadi sorotan publik, apalagi ketika melibatkan tokoh-tokoh terkenal atau selebritas. Dalam konteks Islam, kasus seperti ini bukan hanya masalah sosial, tetapi juga menyangkut hukum syariat yang jelas mengatur tentang status anak tersebut.

Pandangan Islam terhadap Anak dari Hasil Zina

Islam memandang anak sebagai makhluk suci yang tidak menanggung dosa orang tuanya, termasuk anak yang lahir dari hubungan terlarang. Namun, ada sejumlah ketentuan penting yang perlu dipahami terkait status dan hak-hak anak tersebut.

1. Anak Hasil Zina Tetap Memiliki Hak Hidup

Islam secara tegas melarang pengguguran kandungan, termasuk janin yang dikandung akibat zina atau pemerkosaan. Janin tetap dianggap sebagai manusia yang memiliki hak untuk hidup. Allah berfirman:

“Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah mereka dibunuh?”
(QS. At-Takwir: 8–9)

Menggugurkan janin tanpa alasan syar’i dianggap sebagai bentuk kezaliman besar.

2. Anak Tidak Di-nasab-kan kepada Bapak Biologis

Dalam hukum Islam, anak hasil zina tidak dinasabkan kepada laki-laki yang menzinai ibunya, karena hubungan tersebut tidak sah secara syariat. Nasab anak hanya bisa disandarkan kepada ibunya.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Anak hasil zina tidak dinasabkan kepada laki-laki yang menzinainya, dan dia tidak memiliki hak waris terhadapnya.”
(HR. Ahmad dan Abu Daud)

Jika anak tersebut tetap di-bin-kan kepada bapak biologisnya, padahal bukan hasil pernikahan yang sah, maka hal ini dianggap dosa besar. Nabi ﷺ bersabda:

“Barang siapa mengaku sebagai anak dari orang yang bukan ayahnya, maka surga haram baginya.”
(HR. Bukhari)

Sebagai contoh, nasab anak bisa ditulis sebagai “Paijo bin Fulanah”, bukan “bin Fulan”.

3. Status Wali Nikah

Anak perempuan hasil zina tidak memiliki wali nikah dari pihak ayah, karena dalam hukum syariat, ayah biologisnya bukan wali yang sah. Oleh karena itu, urusan pernikahan anak perempuan seperti ini harus diserahkan kepada hakim (wali hakim/KUA).

4. Larangan Menikahi Wanita Hamil karena Zina

Islam melarang laki-laki yang menzinai seorang wanita lalu menyebabkan kehamilan, untuk langsung menikahinya saat masih dalam keadaan hamil. Pernikahan hanya diperbolehkan setelah wanita tersebut melahirkan, untuk menjaga kejelasan nasab dan mencegah campur baur sperma.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, untuk menyiramkan air maninya pada tanaman yang bukan miliknya.”
(HR. Abu Daud dan Ahmad)

Maknanya, tidak boleh ada hubungan suami istri dengan wanita yang sedang hamil karena perzinaan, hingga melahirkan.

5. Pernikahan Tidak Menghapus Dosa Zina

Menikah setelah berzina tidak otomatis menghapus dosa zina. Islam menekankan pentingnya taubat yang tulus dan sungguh-sungguh. Pernikahan hanyalah solusi sosial, bukan penghapus dosa spiritual.

Nabi ﷺ bersabda:

“Orang yang bertaubat dari dosa, seperti orang yang tidak pernah berdosa.”
(HR. Ibnu Majah)

Syarat taubat yang diterima:

  • Menyesali perbuatannya dengan sepenuh hati

  • Segera berhenti dari perbuatan zina

  • Menjauhi semua faktor pemicu zina, seperti pergaulan bebas, pornografi, dan lingkungan yang tidak sehat

  • Berkomitmen untuk tidak mengulangi dosa tersebut

Penutup

Islam memberikan panduan yang jelas dan tegas terkait status anak hasil zina. Meskipun anak tersebut tidak menanggung dosa orang tuanya, terdapat konsekuensi hukum syar’i dalam hal nasab, waris, dan perwalian. Di sisi lain, Islam tetap membuka pintu taubat bagi pelaku zina, selama mereka bersungguh-sungguh untuk memperbaiki diri. Maka, persoalan ini sepatutnya menjadi pelajaran bagi masyarakat tentang pentingnya menjaga diri dari pergaulan bebas dan maksiat, serta memahami konsekuensi dari setiap tindakan.